Dosenku Pahlawanku


Aku setengah berlari menuju koridor tempat penerimaan mahasiswa baru yang terletak di  balik bangunan yang berwarna hijau di kampusku. Rumput yang mulai menghijau di selingi dengan desiran angin yang seolah-olah mempengaruhi gerakan rumput itu tak menghalangiku untuk sampai ke sana. Setelah hampir sampai di sebuah pagar yang di balut cat kesukaanku, berwarna putih polos, aku tinggal sejenak memperhatikan tulisan yang terpampang dipagar itu "Selamat Datang Calon Mahasiswa Baru". Kalimat itu seolah menghipnotis aggapanku mengenai kampus ini. Ya, kampus ini benar-benar kampus idaman.
Siang itu, kulihat matahari tak begitu menampakkan sinarnya. Aku tersenyum sinis, tiba-tiba saja ku teringat dengan teman-teman yang selama ini menemaniku. Mereka tak lagi ada di sampingku karena memiliki kesibukan masing-masing. Ini akan menjadi siang yang begitu melelahkan, mengurus semua keperluan mendaftar ulang sendiri, berusaha mengenal beberapa teman dengan sendiri, dan beradaptasi pun dengan sendiri. Sudah ku duga tak ada satupun yang senasib denganku.
***
"Adit, cepatlah kamu bersiap-siap! Sebentar lagi kuliah di mulai."
Aku yang sedang asyik menikmati sebungkus kerupuk kentang yang ku beli di toko pinggir jalan tadi tiba-tiba terkaget dan sedikit mempercepat mengunyah kerupuk tersebut. Rupanya Sigit, sahabat yang ku kenal di sebuah warung sudah siap menuju kelas dengan beberapa buku-buku tebal terpampang di pinggangnya.

"Hmm, kamu duluan saja Sigit, kayaknya masih ada waktu menghabiskan kerupuk ini. Sayang kalau di buang." Kataku sambil mengunyah dengan lahapnya.
"Ya sudahlah, terserah kamu saja deh!" Sigit berlalu dengan wajah yang tampak sinis. Aku mendesah sambil mengeluarkan Handphone Nokia 5310ku karena kebetulan ada sms yang masuk dari salah seorang teman. Ngemil merupakan hobby yang tak bisa ku lepaskan begitu saja dalam hidupku. Di belakang gedung perpustakaan tepatnya di bawah pohon jati yang rindang dan subur di situlah tempatku biasa melakukan hobbyku ini sambil duduk beralaskan kardus. Entah dari mana datangnya kardus-kardus itu. Setiap hari di sekitar pohon itu penuh dengan tumpukan-tumpukan kardus. Aku sengaja menjadikannya tempat favoritku karena jauh dari bisingan orang-orang, jauh dari polusi udara, hawanya sejuk dan terlebih lagi hanya ada suara jangkrik yang setia menemaniku. Betapa senangnya hatiku, ketika mengunyah satu demi satu kerupuk kentang yang sudah ku beli. Ingin sebenarnya aku berbagi kepada teman-teman sekampusku, namun mereka malah menganggap aku mahasiswa aneh. Mereka beranggapan kalau aku manusia yang tak terdidik.
Ku keluarkan kembali ponselku. Betapa terkejutnya aku ketika melihat di ponsel, waktu menunjukkan pukul 08.20. "Wah, aku telat lagi." Pikirku sambil berdesis. Aku berusaha berlari sekencang-kencangnya menuju ke ruangan sambil berusaha merapikan kemeja kotak-kotak putih yang ku kenakan serta membersihkan mulut dari bekas kerupuk kentang tadi.
Aku baru ingat kalau mata kuliah pertama hari ini adalah filsafat umum. Itu berarti, sebentar lagi aku akan bertemu dengan seorang dosen killer di kampus kami, pak Zahdi. Pantas saja, tadi ketika Sigit mengajakku masuk ia kelihatan sangat takut sekali. Bukan takut karena akan ketinggalan pelajaran, tapi takut kalau pak Zahdi mengeluarkan jurusnya untuk menghukum mahasiswa-mahasiswa yang terlambat. Namun, "Ah, mudah-mudahan saja beliau tidak masuk hari ini, kan hari ini ada acara di rektorat". Tapi fikiranku kali ini salah total. Saat aku berada di depan pintu ruangan yang tertutup dan berusaha mengintip lewat jendela yang terbuat dari kaca, aku sedang melihat bagian belakang kepala pak Zahdi yang sedang asyik menerangkan mata kuliah kepada teman-teman. "Wah, gawat." Pikirku. Sambil berusaha mengetuk pintu dengan ujung jariku dan membuka pintu dengan sangat hati-hati, ku munculkan wajahku dahulu ke dalam ruangan di sertai senyum yang sangat buruk. Ku ucapkan salam dengan sangat terbata-bata kepada beliau.
"Assalamu 'alaikum pak." Sambil menunduk malu aku mulai berjalan menuju tempat dudukku.
"Wa'alaikum salam warohmatulohi wabarokatuh." Sambil menggelengkan kepala beliau menjawab salamku dengan sangat komplit. Ketika aku tiba di depan tempat dudukku dan menaruh tas serta mengeluarkan switer bob marleyku, tiba-tiba terdengar suara dari depan yang tidak salah lagi, itu suara pak Zahdi menegurku.
"Aditya Gunawan, sudah berapa kali kamu terlambat di mata kuliahku?"
"Ma….ma…af pak." Lidahku terasa kaku. Tiba-tiba beliau tersenyum kepadaku. Senyuman yang tidak seperti senyuman-senyuman biasanya. Kali ini dia tersenyum sambil menulis sebuah kalimat di whiteboard. "SAYA TIDAK AKAN TERLAMBAT LAGI DI MATA KULIAH BAPAK". Dengan sangat jelas bisa ku baca tulisan itu. Kemudian beliau menambahkan.
"sebagai hukuman keterlambatan kamu, saya akan berikan kamu tugas. Tulis kalimat ini di kertas HVS sebanyak lima halaman dan berikan saya saat pertemuan minggu depan. Mengerti…??." Sambil beliau memukul-mukulkan spidolnya ke arah whiteboard itu.
"Ba…. Baik pak." Jawabku tanpa sedikitpun memprotes. Aku sangat tersentak dan malu ketika ku dengar hamburan tawa teman-teman menggema di seluruh ruangan.
***
Semenjak kanak-kanak aku di rawat oleh paman dan bibiku yang sangat keras. Karena orang tuaku menyerahkanku kepada mereka sejak umur 4 tahun. Aku tak pernah sedikitpun mendapat belaian dari orang tua. Paman banting tulang setiap harinya untuk membiayai sekolahku sebagai sopir taksi. Tak jarang paman pulang setelah larut malam. Kadang paman pulang sambil mabuk-mabukan. Kadang ia pulang tanpa membawa sepeser pun, karena telah berfoya-foya dengan kawan-kawannya. Bahkan kadang terjadi pertengkaran hebat di rumah ketika paman ketahuan oleh bibi menyimpan foto seorang perempuan pelacur. Karena itulah aku kurang perhatian dari mereka dan menjadi seperti sekarang ini, preman tak bermodal. Tak jarang paman memukulku tanpa ada alasan yang jelas. Karena itulah yang membuat egoku semakin buntu dan kebrutalanku semakin menjadi-jadi.
Setelah lulus sekolah dasar, paman memaksaku masuk pondok pesantren Al Hidayah. Awalnya aku sempat menolak dengan sangat keras paksaan pamanku itu karena aku lebih ingin bersekolah di SMA negeri biar lebih mudah dalam bergaul. Namun, permintaanku tersebut di tolak mentah-mentah oleh paman dan aku pun berusaha menuruti kemauannya untuk mengasramakanku di sebuah pesantren. Itupun aku turuti karena supaya tidak dapat lagi marah-marah darinya dan tidak lagi menuruti aturan-aturan paman yang membuatku menderita. Tapi ternyata, peraturan di pesantren semakin rumit. Sampai-sampai hampir setiap hari aku mendapat hadiah hukuman karena melanggar peraturan itu. Aku jadi tambah hancur di pesantren ini. Karena aku sangat membenci yang namanya aturan. Aku mau hidup bebas tanpa ada aturan-aturan dari orang lain.
Tak jarang aku jengkel dengan teman-teman se asramaku yang sedikit-sedikit mengeluh karena uang jajannya kurang. Aku juga sempat iri melihat mereka semua yang di jenguk oleh orang tua mereka. Aku tak akan bisa mendapatkan perlakuan seperti mereka itu. Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Namun ayah, dia sangat tak ingin memikirkanku sehingga melarang ibu untuk bertemu denganku.
Ketika aku duduk di kelas 3 aliyah, itu berarti satahun lagi aku berada di pesantren ini dan sudah lima tahun aku bertahan dari amukan pesantren ini. Namun, tak ada sedikitpun yang berubah dari sikapku. Bahkan ketika itu, saat di mana aku di katakan senior oleh adik-adik kelasku. Saat itu pula aku  bukannya semakin baik, tapi aku semakin menjadi-jadi. Seenaknya saja aku melanggar peraturan dan tak ada bedanya seperti anak-anak kelas satu yang tiap hari mendapat teguran dan hukuman. Tak dapat kupungkiri, telah berapa kali aku melanggar peraturan-pertauran  yang di tetapkan di pesantrenku itu. Mulai dari merokok, bolos pelajaran, telat sholat berjama'ah, memakai celana jeans atau mengganggu santriwati. Dan itu juga yang membuat pamanku di surati untuk menghadap ke pesantren. Paman pun marah besar ketika mendengar itu semua. Namun anehnya, itu tak membuatku jera melakukan kebrutalan-kebrutalan itu lagi. Dan anehnya lagi, aku tak pernah sekalipun mendapatkan hukuman yang membuat aku keluar dari pesantren ini.
***
Beberapa bulan yang lalu aku lulus di sebuah Universitas Islam di sebuah kota, yang berarti pesantren yang sangat ku takuti itu telah berhasil ku lalui. Namun setelah selesai dari pesantren, aku bukannya semakin membaik, malah aku semakin hebat saja. Hebat dalam berbuat kenakalan. Satu bulan pertama di universitas, aku sudah mendapat hukuman dari pak Zahdi. Namun anehnya, ketika ku bertemu dengannya dan langsung bertatapan mata, tiba-tiba aroma dan perasaan lain muncul dalam hatiku. Entah itu apa. Semenjak beliau di angkat menjadi ketua di jurusanku, beliau lebih sering memperhatikanku. Namun aku bingung kenapa aku tetap saja takut ketika beliau memarahiku dan membentakku. Padahal, tiap hari aku di bentak oleh paman dan tanteku biasa-biasa saja. Aku tak merasa ketakutan. Aku pun mulai mengakui serta mengagumi dosenku yang satu ini. Jarang ada dosen seperti pak Zahdi ini menurutku. Aku pun berfikir dosenku yang satu ini memiliki atmosfer sangat aneh yang sama sekali tak ku ketahui…
Malam ini tak seperti malam-malam kemarin. Bukan karena bulan hari ini ada dua. Bukan pula karena bintang yang jadi hantu malam ini. malam ini, bulan tak muncul karena tertutup oleh bergumpalnya awan di atas sana. Yang menyebabkan bintang-bintang tak kebagian sinar bulan itu. Hujan deras menjatuhi padang luas sebuah villa yang kami tempati. Kebetulan pada malam ini, jurusanku mengadakan "Bina Akrab" yang rutin di adakan setiap tahunnya. Hujan sangat deras, sehingga para penghuni villa terlelap tidur di barengi mimpi-mimpi yang berwarna-warni. Kilat dan Guntur hadir bersamaan menghiasi suasana pada malam itu. Sangat dingin. Namun, di sudut villa, masih ada lima mahasiswa yang sedang asyik membicarakan sesuatu. Suara mereka pun tak akan terdengar oleh yang lain karena tertelan oleh suara hujan.
"hehh.. brow… bagaimana nih?"
Di depanku, ada Aqsho', Jery, Sigit dan Imam tampak mulai berfikir keras.
"tapi, perbuatan ini sangat beresiko Dit. Aku tidak mau ikutan deh. Nanti……" Belum selesai Aqsho' mengakhiri pembicaraannya, aku memotong.
"Nanti kenapa? Apa ada yang tau aksi kita di tengah kerasnya hujan seperti ini?"
"Tapi kalau ada senior yang sedang tidak tidur malam ini bagaimana?" sela Imam sambil menyolokkan mata ke arahku.
"Yaa.. kita lari saja. Malam sangat gelap, hujan juga sangat deras. Sekalipun mereka memburu, mereka pasti sulit menemukan kita."
"Tapi, tak semudah itu bisa lolos Dit."
"Yahhh… bilang saja kalau kalian semua penakut!" aku berkata sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka.
"Bukan gitu Dit, tapi resiko mengintip dan mengerjain para mahasiswi yang sedang tidur itu sangat besar, bahkan bisa di bilang sangat beresiko."
Bbuuuuaaarrrkkkkk… suara pohon tumbang di luar sana memecahkan dan mengagetkan kami.
"Udahlah Dit, ini percuma saja. Kami tak akan ikut dengan aksimu kali ini. Maaf ya Dit." Aqsho' mewakili teman yang lain untuk memberitahukan kepadaku ketidak ikut sertaannya sambil mengangkat sarung mereka masing dan mulai berbaring.
"Niatku ini sudah bulat, kalian semua pengecut.!" Kataku sambil menuju pintu dan akan memulai aksiku.

***
Aku bungkus tubuhku dengan switer kesayanganku yang semenjak kelas dua aliyah ku pakai sampai sekarang. sambil mataku celingak-celinguk menyusuri seluruh ruangan. Ah, aman… semua peserta bina akrab kayaknya sudah sangat lelah malam ini dan sudah berada di alam bawah sadarnya masing-masing. Aku mulai melangkahkan kaki ke villa mahasiswi yang tak jauh jaraknya dari villaku sendiri. Namun sebelum sampai ke sana, aku terkaget mendengar teriakan dari arah timur.
"heeiiii… kau…. Sedang apa kau di sana, mau mengintip mahasiswi , kejarrr….!!!" Teriak seorang senior berambut ikal sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.
"Wah, rupanya para senior jaga malam dan berhasil melihatku. Aku langsung menjauh dari villa mahasiswi dan berusaha lari sekencang-kencangnya menerobos ilalang-ilalang serta semak-semak yang tumbuh subur. Para senior juga tak kalah kencangnya berlari, bagaikan harimau yang memburu mangsanya. Cepat sekali. Akhirnya, aku tersandar di balik pohon. Tapi mereka semakin dekat saja dan membuatku terpaksa terus berlari.  Sebenarnya aku sangat lelah berlari melewati ilalang-ilalang ini. Namun, aku masih terus berlari sambil sesekali melihat ke belakang walaupun mataku ini sudah tak tahan lagi ingin terlelap.
Kkhhmmmmm…..!!! betapa kagetnya aku mendengar suara seseorang berdehem seolah-olah berusaha membuyarkan fikiranku yang sedang asyik bersembunyi di balik pohon. Setelah ku tatap orang yang bertubuh tidak terlalu besar itu, akhirnya aku tau siapa orang itu.
"Pak Zahdi….. se….. dang a…pa di si…ni pak" Tanyaku sambil terbata-bata dan berharap pak Zahdi tidak tau tentang perbuatanku.
***
Jam dinding yang berada di atas pos satpam yang ada di fakultasku menunjukkan pukul 07.35. Yang artinya, aktifitas kuliah baru di mulai. Hari ini, pohon-pohon melambaikan tangan kepada seluruh alam ini di bantu dengan desiran angin yang sepoi-sepoi.  Walaupun demikian, aku tak terhibur sedikitpun dengan itu semua. Di dalam kantor jurusanku tepatnya di ruangan ketua jurusan, aku terpojok kaku dengan mata yang memandang ke bawah. Di samping kiriku ada paman yang tampak sangat marah kepadaku. Namun tak sedikitpun berbicara kepadaku. Beberapa saat kemudian pak Zahdi masuk ke ruangan sambil membawa tas hitam kesayangannya. Setelah memberi salam dan berjabat tangan dengan kami berdua, beliau mempersilahkan paman duduk. Seperti biasanya, aku sangat ketakutan ketika pak Zahdi memandang kepadaku. Dan pak Zahdi memulai percakapan.
"Pak Rusdi, bapak sengaja di panggil ke sini karena kesalahan Adit yang sangat fatal ketika bina akrab kemarin. Dia sangat berani mencoba menyusup ke kamar mahasiswi." Jelas pak Zahdi kepada paman.
"Iya pak, saya tahu."
"Namun kali ini kesalahan Adit sangatlah fatal pak. Dia telah berani mencoba mengintip dan menerobos di kamar mahasiswi." Tegas pak Zahdi.
Paman sangat terpukul dengan peristiwa ini. Beliau tak dapat berkata apa-apa lagi selain meminta maaf kepada pak Zahdi. Namun aku, hanya terpaku dalam ruangan itu. Terdiam seribu bahasa di sertai keringat yang terus menjalar di seluruh tubuhku.  
"Adit….!! …. Adit…. !! Adit…!!" Teriak Pak Zahdi.
Aku baru mendengar panggilan itu ketika pak Zahdi mengulanginya sebanyak tiga kal.
"Iya pak. Maaf saya tidak dengar." Kataku sambil menunduk takut.
"Sini, kamu duduk di samping pamanmu ini." Kata pak Zahdi.
"Iya pak." Sahutku sambil berjalan menuju kursi yang ada di samping pamanku itu.
"Coba tatap wajah pamanmu itu. Tidakkah kamu melihat raut yang begitu perhatian terhadapmu..?? ha…??" Tanya pak Zahdi dengan nada suara agak tinggi.
Aku tak dapat berkata apa-apa, karena aku tahu bagaimana perlakuan paman terhadapku selama ini. Aku sungguh tak ikhlas menatap raut wajah yang sekejam itu. Wajah yang selama ini menjadi hantu tersendiri buatku ketika dalam rumah. Sungguh, aku sangat tidak ikhlas.
Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget. Ketika ku lihat linangan air mata yang jatuh dari mata pamanku itu membasahi pipinya. Kemudian terus menerus turun menetes membasahi bajunya. Sungguh, pemandangan yang baru pertama ku lihat. Serasa aku ingin ikut menangis melihat kejadian itu. Namun aku berusaha menahan linangan air mata yang akan jatuh dari mataku. Kutundukkan wajahku ke lantai dan berharap paman menjauhkan pandangannya dari wajahku. Tapi, pandangan paman tetap saja melihatku dengan penuh perasaan. Kunaikkan kembali wajahku menatap paman dan tiba-tiba paman langsung memelukku sambil menagis terisak-isak.
"Dit, ma.. afin paman Dit. Selama ini paman tidak perhatian sama kamu. Paman terlalu jahat sama kamu Dit. Maafin paman yah Dit." Kata paman terseduh-seduh.
Aku terdiam.
"Nah Adit, kamu sudah dengar sendiri kan bagaimana pengakuan dari pamanmu. Bersedia kah kamu memaafkannya..?? aku sudah dengar semua penuturan dari pamanmu itu. Aku harap kamu bersedia memaafkan dia dan mulai sekarang memperbaiki kelakuanmu  selama ini. Kamu mau kan…!!" kata pak Zahdi menasehati.
"Iyya pak. Saya bersedia. Saya pun tak mau lagi membuat kesalahan-kesalahan dan mulai memperbaiki kelakuanku ini. Saya berjanji tak akan nakal lagi." Kataku di selingi dengan tangis yang begitu dalam.
Sampai saat itu, kenakalanku selama ini sudah tak pernah terulang lagi. Akupun masuk sebagai anggota di lembaga dakwah di kampusku. Bahkan aku tak pernah alpa mengikuti kajian-kajian yang di adakan lembaga dakwah tersebut. Sungguh nikmat berada di lingkungan seperti ini. Lingkungan yang membuatku tenang dalam segala hal. Berada di rumah layaknya sebagai seorang raja yang berada di istana. Paman dan bibiku sangat baik terhadapku sejak itu. Aku tak pernah lagi mendengar gertakan ataupun amukan dari pamanku. Setiap pamanku pulang dari narik taksi, bibiku pun selalu menghadiahinya secercah senyuman yang sangat indah kepadanya. Begitupun denganku. Bibi tak pernah lagi terlambat membuatkanku sarapan sebelum berangkat ke kampus.
Aku sangat senang dengan ini semua, sampai pada akhirnya aku lulus dan berhasil menjadi sarjana terbaik di kampusku. Paman dan bibiku sangat senang melihat itu semua. Kami bertiga pun berfoto dan memajang foto itu di ruang tamu sebagai kenang-kenangan yang sangat berharga.
Kini aku sudah dewasa dan akan terus berusaha untuk menjadi manusia yang terbaik. Karena aku tahu semua yang ada di dekatku menyayangiku dan ingin melihatku bahagia. Sekarang aku sudah tahu, bahwa ujian yang telah ku hadapi dulunya merupakan sebuah tantangan yang harus kulalui dengan tegar. Bukan dengan berpangku tangan ataupun mengeluh. Cobaan harus kita selesaikan dengan cara yang tepat agar kita tahu betapa indahnya hidup ini lewat cobaan-cobaan yang di berikan Allah kepada kita. 

2 komentar: