Andi Ardiansah atau di panggil dengan aco adalah anak Makassar
tulen. Rautnya keras. sekeras kata- kata dan perilakunya. Setiap
hari panas mentari menyengat pori pori kulitnya hingga membesar serupa kulit
jeruk. Hitam legam bagai arang di perapian Daeng Naba yang pula Makassar tulen.
Umurnya sekarang menginjak tahun ke-18. Umur dimana ketakutan akan
menyelesaikan sekolah masih terbayang-bayang di benaknya. Seperti nasib beberapa motor yang terpampang di depan
warung kopi Daeng Naba.
Matahari merekah panas. Sepanas hatinya kala pelanggan yang tidak
membayar parkir ketika ingin pulang. “kurang ajara' nah. seharusna mengerti mi
itu! Cape ta’ lagi jagai motorna! Bambang’i!” katanya terus dalam hati setiap
ada lagi pelanggan yang tak mau mengerti.
Tak tahu darimana datangnya putri ling-ling. Gadis menawan serta mempesona, yang jilbabnya terurai panjang
sampai ke perutnya, dan berwarna putih, Seputih cat tembok deluxe di matrial kepunyaan bos saya. Langsung naik ke rumah tanpa
bicara. Aco langsung Duduk kearah gang kecil dibelakang jalan besar yang becek
dan sepi.
“hey, apa di bikin di situ…. ujar Aco tampak akrab.
“nda… ku buangji tadi sampah yang ada d rumahku!” balas ling-ling
ramah.
“ohh… ku kira apa di bikin deh…’ he he he!!!” tawa renyah Aco yang
menandakan keakraban mereka berdua.
Sungguh malang nasib Aco, dapat kerjaan jadi tukang parkir di
sebuah warung kopi milik seorang juragan matrial. Memang sih kalau tampang,
Aco bisa di acungi jempol keatas. Apalagi alis hitam tebal serta jenggot yang
mulai tumbuh di bagian dagu Aco, tak pantas bekerja di depan sebuah warung kopi
di lengkapi dengan topi warna orange serta seragam yang berwarna orange pula
tak lupa sempritan seharga lima ratus rupiah yang menjadi modal berharga bagi
Aco untuk menjalankan pekerjaannya tersebut (Juru Parkir maksud saya!). tapi apa salahnya? Ustad Jefri
saja yang sekarang merupakan da'i kondang– dulu pernah jadi Preman di terminal serta pernah terjerumus obat-obat
terlarang.(kata orang!!!).
Di belakang warung kopi tua sore menjelang malam.
Aco terkapar dan berdiri sangat lelah. Seolah-olah ia telah lari
melewati tembok cina sepuluh kali. Ia tak mampu menyembunyikan kelelahannya
setelah berhasil mengangkat dan mengeluarkan sebuah motor tiger yang terletak
paling dalam di tempat parkiran. Namun kelelahannya tersebut tergantikan ketika
ia mendapat bayaran parkir sebesar dua puluh ribu dari pemilik motor tiger itu.
"Ngapa na banyak sekali di kasikka' pa', nda da kembalianku
kodong." Jawab Aco ketika menerima bayaran dua puluh ribu.
"Ka tidak ku mintaji kembaliannya juga, ambil semuami.. untuk
kau memangji itu. Senangka' ku rasa liatko jadi tukang parkir di sini." Kata
pemilik motor itu memuji Aco.
"ooo.. makasih pade' pa'" jawab Aco sambil mencium
tangan pemilik motor itu pertanda hormatnya kepada beliau.
“ok… deh… yang penting seriusko jagai motornya orang nah..?” kata
pemilik motor itu lagi mengingatkan.
“ok deh pa', hati-hatiki' pade' pa' di jalan, janganki' bosan datang
ke sini pa'!!” sambil tangannya melambai-lambai ke arah bapak itu.
Bapak itu pun tak menjawab sepatah kata dari mulutnya. Ia langsung
memutar gas motornya menjauh dari warung kopi tersebut.
Aco terdiam masih memandang keluar ke arah jalan. Hujan turun
rintik rintik. Orang tua gila yang duduk sudah bertahun-tahun di depan sebuah
toko berlarian mengadahkan wajahnya kelangit. Mencuri butir-butir berkah dari
Yang Maha Kuasa sambil tertawa, melompat, dan sesekali menjilati tangannya yang
sudah dipenuhi daki.
Hujan makin deras. aku juga harus pulang !!
* * *
Esok hari.
“sori ces, saya pulang duluan kemarin nah! Saya baru ingat. saya
janji sama pacea pulang cepat. Sori-sori maap nih ces nah!” kataku sambil
memohon.
“nda apa – apa ji itu! Tenang mo ko. Tapi kau liat mi to cewek
yang kemarin ku kasi liatko waktuta' pergi jalan di benteng. Cina ka’bulator!!”
"Yang manayya itu?"
"itue, keluarganya bosku, yang ku kasi liatko waktuta'
jalan-jalan ke benteng."
Tawa renyah kami di warung kopi Daeng Naba yang kerap disebut
sebut “warkop dottoro”. Di salah satu lorong di kawasan itu, yang sekitar
beberapa kilo lagi bisa sampai di pasar sentral.
"Sebenarnya mau sekalika' itu sama dia. Kerenki ku liat. Jarang-jarang
nah, ada cina islam."
"Kalau begtu dekatimi pade'… mumpung selalujiko ketemu di
warkopka….!!
“tapi begini mi nasib ku kodong. Tena doi’!!”(bukan doi serupa
pacar, tapi doi’ dengan huruf “i” di tekan yang berarti duit.
Fulus.)
“memang kira-kira berapa mi kah? Perasaanku, kalau orang cina nda
ada duit panaik-nya”.sambutku lagi mulai
bercakap.
“memang! Tapi ko tau nah, dimana bumi dipijak disitu langit
dijunjung!! Paling kecil 5 juta pace-mace(Bapak-Ibu)nya minta. Dari mana
ki dapat uang segitu? Saya kan tukang parkirji kodong! Kalo dibilang cinta. Cinta mati mi ini
saya sama tu cina” jelasnya lagi. Nadanya merendah, rautnya turun membentuk
guratan-guratan baru yang lumayan dalam.
“Makassar di’. Be be be…. Lima juta!! Bisa mi beli motor bekas itu
kau’e.”lantunku menyindir. Tetapi jelas bukan dia yang kusindir. Kalian pasti
mengerti kan?
Aco, sahabat baru yang ku kenal tidak sengaja, karena pernah
menabrakku sewaktu hendak memotret bangunan di kawasan ini. Dulu kami hampir
berkelahi karena itu. Tapi toh sekarang malah jadi sahabat.
Kopi hitam pekat diseruputnya perlahan karena masih panas, lalu
ditenggak penuh kenikmatan. Menenggelamkan diri dalam rasa manis campur
pahitnya kopi Daeng Naba. Bagai kisah cintanya yang pula pahit manis. Ia
menarik nafas panjang, sepanjang waktu yang akan ia lalui tuk gapai harapannya,
sepanjang mimpinya tuk menggenggam uang 5 juta(itupun minimal) dan meminang gadis
impiannya. Dan ku yakin pula, si gadis cina yang ku gelari ling-ling itu pun
menunggu tak sabar datangnya hari kebahagiaan yang dinantinya.