di balik semua itu

Entah mengapa....!!! hari ini ku terbangun dengan hirup nafas yang begitu dalam. mengalahkan kedalaman sungai nil. padahal hari ini begitu luang..... jadwal kuliah yang biasanya padat, sekarang mulai merenggang. teh sariwangi hangat ku seduh perlahan-lahan dengan di barengi setoples biskuit yang tak ku tau apa merk biskuit itu. sambil celingak-celinguk menikmati iringan lagu "hidup berawal dari mimpi" punyanya bondan. wah.. benar-benar lengkap lah pagiku kali ini. empat potong biskuit telah kuhabiskan dalam sekejap. bukan karena kelaparan, tapi karena  biskuit itu terasa enak ketika menyentuh lidahku.

namun, ku masih merasa ada yang ganjil di pagi ini. entah itu apa...
tanpa memikirkan itu semua, aku langsung menghabiskan teh ku yang kelihatnnya sudah sangat lelah duduk di atas meja. toples juga ku tutup rapat tanpa memikirkan nasib lalat yang berusaha masuk ke dalam toples. ku tatap jam dinding  yang tepat berada di depan mataku. ku teringat teka-teki adik2ku yang tiap hari ia ulangi. "kak, coba tebak... 3 pembalap 12 penonton..??". sambil berpura-pura kebingungan saya berfikir. "Ngng... apa yah...??". dengan penuh semangat di jawab sendiri sama mereka." jam dinding...!!!!!"... hahaha. sungguh indah malam itu.


kadang kita menyalahkan hidup



…….Tiba2 aku merasa bodoh. Menyalahkan diri sendiri. aku Baru sadar kalau kebiasaan jelekku akan  berimbas ke orang lain. Maaf… maaf sekali lagi, aku tak menyadarinya. Aku tak tahu harus bagaimana … ya inilah aku. Kadang terlalu menutup mata. Tak mau tau keadaan di luar. Sering menghilang tiba2. Ingin lenyap seketika.
Maaf…. Bukan maksudku….. 

Yupzz.. kebiasaan jelek untuk menghilang tiba2. Menghilang dalam waktu lama. Tidak menghubungi siapapun. Malas berinteraksi. Bahkan membalas smspun malas. akhhhh… kebiasaan itu membuatku harus membayar mahal… kehilangan seorang teman… ogh… tidaaaaaakkk…! [semoga ini tidak benar2 terjadi]

Beberapa minggu lalu. Ada telpon dari seorang teman. Tapi karena waktunya nggak pas [pas sedang kuliah].. jadi untuk sementara kusuruh matikan dulu [Kebodohan pertama: janji bilang mau mengabari kalo' sudah tidak sibuk, tapi sama sekali tak ingat buat mengabarinya sampai malam berubah menjadi pagi]. Lalu dia sms… [Kebodohan kedua: lagi-lagi tidak membalas smsnya. Kebiasaan jelek yang sudah sering diprotes banyak orang, tapi tak pernah bisa di ubah. Stupid!]. Kemudian selang satu minggu dia telpon lagi… [kali ini mungkin benar-benar tak denger. tak ku angkat]. Akhirnya selang beberapa lama, aku sms… dan… berrrrr… kaget ku dibuatnya.

‘Maaf, Il. Aku sudah terlanjur sebal sama kamu. Mungkin kamu sudah berubah., Bukan sahabatku yang dulu lagi…’

HAH! Kaget.... tanpa sepatah katapun saya jadi melamun sesuatu yang tak tau apa namanya.

maafkan atas keteledoranku.....


Di sebuah terminal bus dekat pusat perbelanjaan sebuah kota, Dina kembali meneguk sebuah minuman yang ia beli di sebuah supermarket. Tepat pukul 8 pagi. Musim hujan yang sangat hebat. Butiran-butiran air laksana busur-busur panah yang akan memusnahkan musuh. Mentari seolah-olah tak berkutik dibuatnya. April ini memang terasa lebih berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar sana hujan masih berbondong-bondong membasahi seluruh penjuru kota ini sejak tadi malam. Entah mengapa kota ini seakan-akan tertutupi oleh segumpal kabut yag membuat kabur pandangan setiap orang yang melihatnya.
Di terminal yang selalu ramai ini, agak sepi karena hari masih sangat pagi. Ada seorang anak di kursi sebelah, sedang berusaha membetulkan tali sepatunya. Dina melangkah perlahan ke seorang pedagang asongan, sesaat setelah menyerahkan uang 2 ribuan, sebungkus tissue basah sudah ada di tangan Dina. Tissue itu sejenak bisa mengeringkan sepatunya yang terkena percikan air hujan tadi. Tapi tak lama ketika tangan Dina menyentuh surat di saku jaketnya, sepatu yang tadinya sudah hampir mengkilap serasa kotor lagi dan membuatnya  bergetar hebat.
Dua hari yang lalu surat ini tiba di asramaku. Tak banyak isinya, hanya sebuah pesan singkat yang di kirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak". Dina mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Surat ini di kirim Dini setelah beberapa kali ia menelpon Dina dan meng-smsnya, tapi Dina tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya surat ini yang di kirimnya. "ah, waktu seolah-olah bergerak lamban, Aku ingin segera tiba di rumah" sahut Dina dalam hatinya. Tiba-tiba rindu Dina akan ibunya sudah tak tertahankan lagi. "Tuhan beri aku waktu, aku tak ingin menyesal".
Sebenarnya, Dina sendiri tak punya banyak waktu untuk pulang. Kesibukannya kuliah di fakultas kesehatan, di tambah lagi profesi yang ia dapat beberapa bulan lalu, sebagai penulis plus tugas-tugas kuliah yang tiap harinya tak pernah absen. Semuanya itu membuat Dina seperti tenggelam dalam kesibukan dunia kampus tersebut. Inipun dia pulang setelah kemarin meminta izin dan mengorbankan tugas kuliahnya yang sebentar lagi harus selesai.
Sudah hampir dua tahun Dina tinggal di luar kota kelahirannya. Tepatnya sejak ia lulus di salah satu universitas negeri di daerah itu. Sejak saat itulah Dina tak pernah sekalipun melihat suasana di tanah kelahirannya.

Cina Ka'bulator

Andi Ardiansah atau di panggil dengan aco adalah anak Makassar tulen. Rautnya keras. sekeras kata- kata dan perilakunya. Setiap hari panas mentari menyengat pori pori kulitnya hingga membesar serupa kulit jeruk. Hitam legam bagai arang di perapian Daeng Naba yang pula Makassar tulen.
Umurnya sekarang menginjak tahun ke-18. Umur dimana ketakutan akan menyelesaikan sekolah masih terbayang-bayang di benaknya. Seperti  nasib beberapa motor yang terpampang di depan warung kopi Daeng Naba.
Matahari merekah panas. Sepanas hatinya kala pelanggan yang tidak membayar parkir ketika ingin pulang. “kurang ajara' nah. seharusna mengerti mi itu! Cape ta’ lagi jagai motorna! Bambang’i!” katanya terus dalam hati setiap ada lagi pelanggan yang tak mau mengerti.
Tak tahu darimana datangnya putri ling-ling. Gadis menawan serta mempesona, yang jilbabnya terurai panjang sampai ke perutnya, dan berwarna putih, Seputih cat tembok deluxe di matrial kepunyaan bos saya. Langsung naik ke rumah tanpa bicara. Aco langsung Duduk kearah gang kecil dibelakang jalan besar yang becek dan sepi.
“hey, apa di bikin di situ…. ujar Aco tampak akrab.
“nda… ku buangji tadi sampah yang ada d rumahku!” balas ling-ling ramah.
“ohh… ku kira apa di bikin deh…’ he he he!!!” tawa renyah Aco yang menandakan keakraban mereka berdua.
Sungguh malang nasib Aco, dapat kerjaan jadi tukang parkir di sebuah warung kopi milik seorang juragan matrial. Memang sih kalau tampang, Aco bisa di acungi jempol keatas. Apalagi alis hitam tebal serta jenggot yang mulai tumbuh di bagian dagu Aco, tak pantas bekerja di depan sebuah warung kopi di lengkapi dengan topi warna orange serta seragam yang berwarna orange pula tak lupa sempritan seharga lima ratus rupiah yang menjadi modal berharga bagi Aco untuk menjalankan pekerjaannya tersebut  (Juru Parkir maksud saya!). tapi apa salahnya? Ustad Jefri saja yang sekarang merupakan da'i kondang– dulu pernah jadi Preman di terminal serta pernah terjerumus obat-obat terlarang.(kata orang!!!).
Di belakang warung kopi  tua sore menjelang malam.
Aco terkapar dan berdiri sangat lelah. Seolah-olah ia telah lari melewati tembok cina sepuluh kali. Ia tak mampu menyembunyikan kelelahannya setelah berhasil mengangkat dan mengeluarkan sebuah motor tiger yang terletak paling dalam di tempat parkiran. Namun kelelahannya tersebut tergantikan ketika ia mendapat bayaran parkir sebesar dua puluh ribu dari pemilik motor tiger itu.
"Ngapa na banyak sekali di kasikka' pa', nda da kembalianku kodong." Jawab Aco ketika menerima bayaran dua puluh ribu.
"Ka tidak ku mintaji kembaliannya juga, ambil semuami.. untuk kau memangji itu. Senangka' ku rasa liatko jadi tukang parkir di sini." Kata pemilik motor itu memuji Aco.
"ooo.. makasih pade' pa'" jawab Aco sambil mencium tangan pemilik motor itu pertanda hormatnya kepada beliau.
“ok… deh… yang penting seriusko jagai motornya orang nah..?” kata pemilik motor itu lagi mengingatkan.
“ok deh pa', hati-hatiki' pade' pa' di jalan, janganki' bosan datang ke sini pa'!!” sambil tangannya melambai-lambai ke arah bapak itu.
Bapak itu pun tak menjawab sepatah kata dari mulutnya. Ia langsung memutar gas motornya menjauh dari warung kopi tersebut.
Aco terdiam masih memandang keluar ke arah jalan. Hujan turun rintik rintik. Orang tua gila yang duduk sudah bertahun-tahun di depan sebuah toko berlarian mengadahkan wajahnya kelangit. Mencuri butir-butir berkah dari Yang Maha Kuasa sambil tertawa, melompat, dan sesekali menjilati tangannya yang sudah dipenuhi daki.
Hujan makin deras. aku juga harus pulang !!
* * *
Esok hari.
“sori ces, saya pulang duluan kemarin nah! Saya baru ingat. saya janji sama pacea pulang cepat. Sori-sori maap nih ces nah!” kataku sambil memohon.
“nda apa – apa ji itu! Tenang mo ko. Tapi kau liat mi to cewek yang kemarin ku kasi liatko waktuta' pergi jalan di benteng. Cina ka’bulator!!”
"Yang manayya itu?"
"itue, keluarganya bosku, yang ku kasi liatko waktuta' jalan-jalan ke benteng."
Tawa renyah kami di warung kopi Daeng Naba yang kerap disebut sebut “warkop dottoro”. Di salah satu lorong di kawasan itu, yang sekitar beberapa kilo lagi bisa sampai di pasar sentral.
"Sebenarnya mau sekalika' itu sama dia. Kerenki ku liat. Jarang-jarang nah, ada cina islam."
"Kalau begtu dekatimi pade'… mumpung selalujiko ketemu di warkopka….!!
“tapi begini mi nasib ku kodong. Tena doi’!!”(bukan doi serupa pacar, tapi doi’ dengan huruf “i” di tekan yang berarti duit. Fulus.)
“memang kira-kira berapa mi kah? Perasaanku, kalau orang cina nda ada duit panaik-nya”.sambutku lagi mulai bercakap.
“memang! Tapi ko tau nah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung!! Paling kecil 5 juta pace-mace(Bapak-Ibu)nya minta. Dari mana ki dapat uang segitu? Saya kan tukang parkirji  kodong! Kalo dibilang cinta. Cinta mati mi ini saya sama tu cina” jelasnya lagi. Nadanya merendah, rautnya turun membentuk guratan-guratan baru yang lumayan dalam.
“Makassar di’. Be be be…. Lima juta!! Bisa mi beli motor bekas itu kau’e.”lantunku menyindir. Tetapi jelas bukan dia yang kusindir. Kalian pasti mengerti kan?

Aco, sahabat baru yang ku kenal tidak sengaja, karena pernah menabrakku sewaktu hendak memotret bangunan di kawasan ini. Dulu kami hampir berkelahi karena itu. Tapi toh sekarang malah jadi sahabat.
Kopi hitam pekat diseruputnya perlahan karena masih panas, lalu ditenggak penuh kenikmatan. Menenggelamkan diri dalam rasa manis campur pahitnya kopi Daeng Naba. Bagai kisah cintanya yang pula pahit manis. Ia menarik nafas panjang, sepanjang waktu yang akan ia lalui tuk gapai harapannya, sepanjang mimpinya tuk menggenggam uang 5 juta(itupun minimal) dan meminang gadis impiannya. Dan ku yakin pula, si gadis cina yang ku gelari ling-ling itu pun menunggu tak sabar datangnya hari kebahagiaan yang dinantinya.