Dia Yang Merubah Segalanya


ini adalah sebuah curhatan dari seorang perempuan yang menjadi kakak sekaligus sahabatku....!!! setelah mendengarnya, terbesit dalam benakku untuk menjadikannya sebuah cerpen.. yahh..
lewat ceritanya dia mulai bercerita......

Aku berasal dari pulau Sulawesi, yang kebanyakan SD nya sekarang tak memadai untuk di tempati. Lantai yang masih beralaskan tanah liat, dinding yang sedikit lagi akan punah dan atap yang tak lama lagi runtuh, membuat kami, para siswa tercengang melihatnya. Tetapi, aku punya cita-cita dan harapan ingin menikmati jenjang pendidikan yang setinggi-tingginya! Aku memiliki banyak luka dan lara yang hampir setiap hari kurasakan. Sebuah keadaan yang selalu menghalangiku untuk mencapai cita-citaku tersebut, kemiskinan menghanguskanku layaknya kemurkaan kobaran api. Tanggung jawabku pun sebagai anak pertama setiap hari menghantuiku bahkan pernah membuatku ingin menyudahi perjuangan menggapai dunia ini.
Terseduh-seduh aku menghadapi kerasnya dunia reformasi ini. Sampai-sampai sudah ku taksir diriku ini tak akan mampu melanjutkan sekolah. Namun, semuanya itu tak membuatku untuk mundur dari perjuangan. Aku masih ingin bersekolah. Meski bapak menentang keputusan bijakku ini. Waktu itu aku duduk di bangku kelas tiga tsanawiyah di sebuah pesantren agak jauh dari kampung halamanku. Membutuhkan waktu satu setengah jam menuju ke sana. Tiba-tiba ku teringat sebuah surat yang datang dua hari yang lalu.

"Nak, kembalilah…! Setelah lulus tsanawiyah nanti, bapak dan ibu berharap kamu tak usah melanjutkan ke bangku aliyah. Saat ini, kebangkrutan melanda keuangan bapakmu, melumpuhkan segalanya, seperti kobaran api yang melahap habis kayu bakar. Bapak pun sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan cincin pernikahan  yang di berikan bapakmu kepada mama sudah kami jual untuk biaya berobat adikmu. Alangkah egoisnya kamu jika masih memilih untuk melanjutkan ke tingkat aliyah, sementara saudara-saudaramu di sini bekerja keras membantu kami. Kalau di sana, kami tak tahu kamu bisa makan atau tidak, namun kalau kamu di sini bersama kami, kita akan merasakan apapun bersama-sama. Maksudnya, bapak dan mama ingin kalau kamu pulang ke Desa. Berkumpul dengan keluarga serta menghadapi kemiskinan bersama.
Waktu itu semangatku mengalahkan ajakan dari bapak dan mama. Aku masih tetap ingin bertahan. Walau aku masih bingung, siapa yang akan mau membantuku?
Ketika aku pergi menghadap ke ustadzah yang sholihah dan berwibawa, ustadzah kholidah, aku tak dapat berkata apa-apa. Aku terseduh-seduh di sebuah ruangan mungil tempat ustadzah kholidah istrahat, menangis di pangkuan beliau tentang kemiskinan yang sebentar lagi akan mengasingkan diriku dari bangku sekolah. Sampai beliau berkata sesuatu kepadaku.
"Nak Afrah, kalau kamu bisa meraih juara umum pada tahun ajaran ini, saya akan usahakan kamu supaya mendapat beasiswa bebas SPP tahun ajaran berikutnya. Walau saat ini kamu masih berhasil mendapat peringkat dua dan tiga di semester-semester lalu, tapi ibu yakin dengan semangat juang yang kamu miliki. Kamu pasti bisa!" sambil mengatakan kata-kata motivasi itu, beliau memandang mataku dengan pebuh harapan.
Masih teringat dalam benakku, saat itu aku langsung menggenggam tangan ustadzah Kholidah sangat kuat. Seolah-olah akan ku jelaskan kepada beliau dengan sejelas-jelasnya, kemiskinan ini tak akan membuatku mundur dari perjuangan! Kemiskinan ini akan ku jadikan batu sandungan untuk meraih semua yang ku idam-idamkan saat ini lewat pendidikan yang tak kalah tingginya.
Sejak saat itu, tak peduli siang ataupun malam, panas atau dingin, terang atau gelap bahkan ketika perutku sudah tak tertahankan, aku tak pernah berhenti untuk belajar. Aku ingin membuktikan kepada semua orang kalau aku juga bisa jadi juara umum. Walaupun dalam sejarah pesantrenku ini beberapa tahun belakangan, belum pernah ada orang Sulawesi yang meraih rangking satu umum.
Hari yang kutunggu-tunggu pun telah tiba. Setelah beberapa pengumuman di sampaikan, tiba-tiba aku kaget mendengar sebuah pengumuman dari kepala sekolahku "Yang menjadi peringkat satu di kelas 3 B adalah anak kita dari pulau Sulawesi Afrahunnisa', sekaligus menjadi rangking satu umum di pesantren kita ini. Selamat untuk ananda Afrahunnisa'". Para santri dan santriwati, orang tua santri, serta para hadirin langsung mencari-cari orang yang bernama Afrahunnisa' sambil tidak berhenti bertepuk tangan. Suara bariton ustadz Sholeh hampir tenggelam oleh sorak sorai teman-teman dari daerah Sulawesi. Semua mengelu-elukan aku. Sedikit demi sedikit mataku mulai basah. Beliau berhasil membangkitkan kembali harapanku sekaligus menyelamatkan aku dari putus sekolah. Aku baru tahu, bahwa beliaulah yang mengusulkan pembebasan SPP selama satu tahun penuh untukku di hadapan sidang dewan guru dan Pembina pesantren. Beliau bertanya tidak hanya menyemangati saja, tapi sungguh-sungguh membela masa depanku.

***
Setiap tahun aku menepati janji pada ustadzah yang sekaligus motivatorku tersebut, ustadzah Kholidah. Aku pun dengan senang menikmati masa-masa pesantren dengan penuh prestasi, bahkan aku sempat menjadi satu-satunya ketua osis dari cewek. Yah.. meskipun kemiskinan masih menjangkiti keluargaku, ustadzah Kholidah telah membukakan pintu seluas-luasnya kepadaku. Entah bagaimana ku harus berterima kasih. Namun, satu hal yang selalu ku ingat dari perkataan beliau bahwa berprestasi dalam pendidikan adalah senjata paling ampuh melawan kerasnya cekikan kemiskinan.
Akhirnya, setelah lulus dari pesantren, ku bulatkan tekad dan niatku untuk mencoba melanjutkan ke bangku kuliah, sekolah yang ku idam-idamkan saat itu adalah universitas Negeri yang ada di kota itu. Tak sedikit pengorbanan yang ku lakukan demi mengoptimalkan kehidupanku. Mulai dari menjadi guru privat, guru mengaji TPA, berdagang kue dan jadi pengasuh anak ku kerjakan yang penting halal. Sehingga tak ada waktu untukku untuk aktif dalam dunia kampus. Lembaga dakwah yang sangat ku idam-idamkan sejak pesantren pun lewat begitu saja demi mengajar anak-anak di taman pendidikan al qur'an. UKM Seni yang sangat penting bagiku, tak aku masuki demi menjalankan kerjaanku itu semua. Sampai-sampai waktu bersama kawan-kawanku pun sangat terbatas.
Di saat kawan-kawanku tengah menikmati kiriman bulanan dari para orang tua mereka, aku bersabar menunggu gaji bulanan yang tak menentu. Kadang tiga bulan sekali, bahkan lima bulan sekali. Namun, pekerjaan itu tak membuatku menyerah menghadapai ganasnya cobaan di dunia ini.
Sampai pada sebuah keadaan yang membuatku kehabisan kekuatan. Aku bahkan sempat "mengemis" belas kasihan kawanku karena aku sangat kelaparan dan sudah dua hari perutku tak dapat menahan rasa kekosongan ini. Pada kawan-kawan se asramaku aku mengeluh. "rasanya aku tak dapat lagi menghadapi belitan kesengsaraan ini. Aku tak akan meraih gelar sarjana. Aku seperti sebuah tikus kecil yang sedang berada di dalam mulut ular kobra. Aku terjepit dan tak tau arah jalan pulang"
Sampai-sampai aku sempat mempertanyakan keadilan tuhan. Aku lelah dan ingin sekali menyerah. Mengaku kalah dan pulang ke Sulawesi meski tak membawa gelar sarjana adalah pilihan paling realistis saat itu. Apalagi di sekitarku, betapa banyak para lulusan sarjana yang sampai sekarang masih menganggur. Saat itu aku berfikiran akan sama dengan nasib para pengangguran tersebut.
Hingga suatu ketika, aku menemukan kumpulan tulisan seorang motivator muda yang mengawali informasi penerimaan beasiswa tahun itu. Tulisan-tulisan itu pun membuatku tersentak dan langsung terbangun dalam keterpurukan ini. Tulisannya singkat tapi langsung menembus relung-relung hati. Mengingatkan janjiku pada ustadzah Kholidah "kemiskinan harus di lawan dengan prestasi". Meraih pendidikan setinggi-tingginya, sebagai salah satu kunci menghentikan kemiskinan yang menyengsarakanku.
Di dalam pengumuman itu, mba Mery membagikan ilmunya yang sangat berharga. Tips dan triks yang ia berikan untuk melamar beasiswa sekaligus memenangkannya betul-betul membuatku mengangah. Jutaan jam ku habiskan membaca tulisan-tulisannya, ketika aku baru selesai melaksanakan KKN di sebuah desa yang sangat terpencil.
Nama Mery Riana sangat terkenal di dalam dunia maya karena ia salah satu motivator yang sangat cepat tanggap dalam mengatasi pertanyaan dan kesulitan para penggemarnya. Dan hebatnya lagi, itu semua ia lakukan di tengah-tengah waktu kuliah dan penelitian yang padat antara Denmark, jerman dan Jogja.
Dari sebuah selebaran-selebaran, aku beranjak mencari tahu tentang motivator ini dengan mencari namanya di google. Ribuan Link muncul dengan cepat menunjukkan siapa dirinya. Amazing..!!! Mba Mery adalah motivator sejati! Dia telah mengangkat beberapa penghargaan nasional dan internasional dan pada saat itu dia sedang menempuh program doktornya di Denmark dengan beasiswa yang sangat menggiurkan dan membuat iri setiap orang yang mengetahuinya.
Semenjak itu, boleh di katakan aku sangat terobsesi sekaligus iri padanya, jika dia bisa meraih dan menyelesaikan jenjang pendidikan setinggi itu gratis dengan beasiswa, kenapa aku tak bisa? Kehebatannya di bidang akademik juga menanamkan benih dalam jiwaku : Aku harus selesaikan pendidikan S1 ku, sesulit dan sebanyak apapun cobaan dan tantangan yang akan ku hadapi. Aku tidak akan bisa mendapatkan beasiswa di S2 kalau aku belum menyelesaikan S1 ku.
Tepat di hari sabtu yang sangat cerah. Disertai dengan kemalu-maluan sang mentari untuk bersinar di tengah keramaian kota Jogjakarta. Aku duduk di salah satu stasiun kereta api menunggu Mery Rianna setelah sekian lama menjadi muridnya di dunia maya. Di email, aku menceritakan semua kekagumanku terhadapnya. Dan berharap dapat menyedot langsung energi positif darinya. Menjelang keberangkatannya kembali ke Denmark, di sela-sela kesibukannya mengurus penelitian doktornya, da sisihkan waktu untukku yang bukan siapa-siapa.
Sekitar sejam aku menunggu bagaikan seekor semut yang berada sendirian di dalam tumpukan pasir yang tak tau jogja. Akhirnya, dari jauh kulihat seorang perempuan keluar dari mobil putih. Cantik, menarik, sederhana, anggun dan ramah.
Sambil bersalaman. Mba Mery menarik tanganku "Ayo Afrah, langsung naik mobil, kita cari restoran yang paling enak". Aku tak tau mau di bawa kemana, tetapi pastinya aku langsung menyukainya.
Kami tiba di salah satu restoran mewah di tengah-tengah kota jogja yang sangat nyaman. Pemandangan yang terhampar di sekelilignya bukan main indahnya. Kenyamanan kota jogja membuat aku tersenyum bahagia.
Dengan bibir yang gemetar ku mulai pembicaraan kami. Dia pun bercerita tentang keluarga, hobbi, kenngan masa kecilnya yang lucu dan penuh semangat serta pengalaman menerima beasiswanya pun tak luput di ceritakannya. UGM dan sanggar tari kampusnya, penelitian-penelitiannya dan cintanya pada ilmu pengetahuan.. walaupun hampir semuanya telah ku baca di blognya, tapi tetap saja mendengarkan langsung itu asyik. Dia bahkan membawa foto-foto keliling dunianya dan memperlihatkannya kepadaku.
Dialah salah satu perempuan pintar, cantik, cerdas dan tidak sombong yang pernah ku kenal. Saat itu juga dia ku jadikan inspirator dalam hidupku ini, yahh, selain ustadzah Kholidah tentunya, karena telah menyuntikkan sejuta obat semangat untukku untuk menghadapi dunia yang penuh misteri ini.
Setelah bercerita panjang lebar dengan raut wajah yang sangat enak di pandang, dia mulai bertanya-tanya tentang kehidupanku. Dia ingin tahu banyak tentang caraku menghadapi dunia ini. Tentu saja, dengan raut wajah yang malu-malu aku mulai menceritakan siapa diriku sebenarnya dan impian-impianku yang tersendak-sendak dapat ku raih. Dia hembuskan kata-kata yang sangat ampuh untuk menenangkan hatiku saat itu. "jangan menyerah dek, kamu tak akan mengetahui batas kemampuanmu kalau kamu sendiri belum mencobanya, kami para tim motivator akan membantu adik dengan senang hati."
Dia memberikanku motivasi yang sangat keren dan membagikan ilmu kepadaku. Dia membuktikannya. Ketika telah berulang kali ku mencoba melamar beasiswa untuk program S2 ku di berbagai universitas negeri di kota ini, ia pun senantiasa menyebarkan masukan-masukan yang sangat berharga lewat email. Bahkan ketika dia sedang sibuk mengurus penelitiannya pun dia masih selalu memberikan yang terbaik untukku.
Dan akhirnya, yang kuimpikan selama ini perlahan-lahan mulai muncul. Tepat sebulan setelah wisuda S1 ku, lamaran beasiswa untuk S2 ku di terima. Hari itu, aku tak tahu bagaimana lagi menampilkan raut wajah yang bahagia. Ku bersyukur kepada Allah Swt, orang tuaku yang telah mendo'akan, ustadzah Kholidah yang selalu mendengarkan keluhanku, teman-teman yang tak pernah berhenti mendukungku, serta tak lupa ku ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada sang inspiratorku Mba Mery Rianna yang telah membesarkan jiwaku untuk menghadapi ini semua. Pendidikan yang tak hanya membebaskanku dari penjajahan kemiskinan harta dan ilmu, tapi juga membawaku terbang jauh ke barbagai Negara, seperti yang ku dambakan selama ini. Saat ini, entah sudah berapa puluh Negara telah ku singgahi. Mulai dari paris yang terkenal dengan kota penuh cinta, mesir kota tempat fir'aun di lahirkan sampai ke jepang, tempat bunga sakura berguguran.
Dia mengajariku satu hal yang sangat berharga. Kita tak akan pernah merasa kekurangan selama kita masih sudi membagikan apa yang kita miliki. Namun sebaliknya kita malah akan jadi semakin kaya dengan memberi. Seperti yang di pesankan Rasulullah kepada ummatnya "Al yadul 'ulya khairun minal yadis suflaa." Tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah."

terakhir... buat Kakak sekaligus sahabatku ini, makasih buat curhatannya yang sangat menginspirasi....!!!!

2 komentar: