To Be Continued Story (3)

Kisi-kisi Akuntansi

HOOPPPP…!! Saya menarik Friska, mencegah badannya terjatuh. Friska yang merasa oleng sesegera mungkin berusaha untuk mengendalikan dirinya sendiri. Dan berhasil berdiri setelah beberapa detik kemudian. Namun, entah mengapa, secara reflex saya juga masih menjaga Friska dari kemungkinan dia terjatuh lagi.
Sebelum Friska mencoba menyela tanganku, aku sempat berfikir… astaga.. apa yang kulakukan saat ini? Mungkinkah Friska berfikir buruk soal ini? Atau dia malah kagum dengan saya karena telah menolongnya?
Beberapa pertanyaan terlontar dari hatiku yang masih kebingungan saat ini. Friska pun terdiam sesaat, kami bertatapan satu sama lain hingga akhirnya kami menyadari status kami.
" Lain kali hati-hati dong." Kataku sinis.
" kamu jangan pegang-pegang aku ya," Friska pun cepat-cepat menuju kantin. Mukaku kesal namun hatiku tersenyum dengan sendirinya.
Wahhh.. cewek apaan dia? Sudah di tolong, bukannya bilang terima kasih malah langsung marah-marah. Andai saya tau dia begini, saya tak akan sudi menolongnya." Pikirku dalam hati.
" KAMU tadi dari mana Ian?" Tanya Raihan ketika mendapatkan tempat yang pas di dalam angkot.
Saya langsung duduk di sampingnya dan langsung membersihkan ujung celanaku yang terkena debu ketika naik tadi. "Kemana kapan?" tanyaku.
"Tadi… Waktu abis stempel kuitansi SPP. Kamu hilang begitu saja. "
Oh.. iyya, aku berfikir, kan tadi saya dari membelikan Bu Asni makanan bareng Friska. "Ngg.. nggak ke mana-mana, ruang Fakultas tadi penuh, jadi agak lama ngantri di situ. Aku pun mengibaskan tangan ke pundak Raihan, mencoba mengatakan kalau nggak ada apa-apa.
" Saya pikir kamu menyembunyikan sesuatu dari saya. Iyya kan..?? ayo.. kasitau saja lah. Kamu tadi dari mana. Tadi siang kamu kenapa." Raihan menatapku dengan serius.
"Ya ampunn….!! Tidak kemana-mana kok Raihan."
Kupasang mimik dengan senyuman yang lebar berusaha memantra-mantrai Raihan agar percaya dengan ucapanku tadi dan agar mau pindah dari pokok pembahasan ini.
" Ayo Ian, pasti kamu mau menyembunyikan sesuatu, saya mau tau lah, apa yang terjadi sama kamu." Please dong…!!"

"Eh Ihsan kemana ya, kok tidak bareng sama kita?"
" Aduh Ian, jangan mengubah topik pembicaraan ya."
Aku menghembuskan nafas panjang. Dan mencoba berfikir bagaimana caranya kasih tau ke Raihan soal yang tadi. "oke… tadi siang…!!"iikkkk… kikkkkk…!! Mobil tersentak dan bergerak oleng sambil pak sopir mengeram mobilnya dengan mendadak. Klakson mobil di bunyikan dengan sangat keras, pertanda kalau sopirnya lagi kesal. Saya dan Raihan terbanting ke depan begitupun dengan penumpang yang lain. Ketika angkot yang kunaiki ingin berbelok ke kiri, sebuah sedan merah menyerobot cepat. Hampir menabrak pembatas jalan. Mobil berhenti dan orang yang mengendarai sedan itu malah mengacungkan jari tengah. Kemudian mobil itu melaju cepat meninggalkan angkot. Secara spontan, sang sopirpun marah-marah dan mengeluarkan kata-kata yang kotor yang tak dapat dicuci lagi.
" Ya.. ampun, siapa yang mengendarai mobil seperti itu?" Kata Raihan ikut-ikutan kesal. Kemudian berusaha melihat dengan jelas mobil sedan merah itu. Aku mencoba duduk tegak, dan berusaha melihat mobil yang menyerobot tadi. Itu mobilnya Friska Cs. Saya hafal dengan dua angka terakhir dari platnya. Juga dengan stiker-stiker norak yang tertempel di body kiri dan kanan mobilnya.
" Eh Ian itu kan mobilnya Friska dan kawan-kawan! Kurang ajar sekali mereka." Raihan menunjuk-nunjuk dan tangannya mengepal memukul tangan yang satunya.
"Yup, betul sekali Han." Gumamku dengan sangat yakin.
Semua orang dalam angkot itu melihat mobil yang mulai menghilang di perempatan tadi, hingga semua orang mulai reda akan kemarahannya dan mengata-ngatai pengemudi dalam hati.
" Ya ampun, dasar mereka itu, mengemudi dengan tidak benar. Bisa-bisa mereka di tangkap sama polantas baru mereka sadar." Seru Raihan dengan kesal.
Aku hanya tersenyum diam menatap kemarahan orang-orang.
"Oke kita lanjut lagi, sampi mana tadi?"
"Ng… kita tadi bicarakan Laptop." saya tersenyum, berbohong, semoga Raihan lupa dengan pembicaraan tadi dan tidak melanjutkan ceritanya.
"Ng… katanya di pameran di luar kota ada Laptop yang sangat murah, bagus dan masih baru lagi, murah kan? Saya mau beli yang itu."
"Eitt.. eitt…!! Tunggu.. kamu jangan coba-coba bohongin saya deh. Saya ingat, yang kita bicarakan tadi soal kamu ketika istirahat tadi kan. Kemana saja kamu.? Ayo, lanjutkan cerita yang tadi."
"Saya pun lagi-lagi menghembuskan nafas yang sangat panjang. "Ya, ya.. siang tadi saya memang sedang ke fakultas untuk minta stempel di balngko SPP saya. Tapi ternyata untuk semeseter 4, stempelnya di ruang jurusan, bukan di fakultas. Dan….. saya ketemu dengan friska ketika sampe di ruangan bu Asni.
"terus… terus?"
"Ya… saya dan Friska berdiri berdua di depan meja bu Asni. Minta tanda bukti ikut ujian semester genap besok."
"Ha…..??" Raihan melongo. "kkk.. kalian berdiri berdua..?? kamu di ejek tidak?"
"Tidak, Friska lebih banyak diam daripada bicara."
Raihan mengangguk-angguk. "Terus?"
"Terus, ya begitu deh, tak ada yang aneh kok. Biasa saja.."
Aku menjatuhkan badan di atas kasur. Kipas angin kecil yang berputar di atas meja belajarku memberikan sedikit kesejukan walaupun tak memberi pengaruh banyak. Suara kicau bururng-burung terdengar yang sedang mencari makan di atas genteng rumahku. Memang kedengaran berisik tidak menentu, namun terdengar damai juga rupanya.
Ooohhh… sungguh indah hari ini..
Braakkkk…
Cika tiba-tiba menggebrak pintu dan berlari membawa laptopnya. Sebuah kardus kecil pun berada tepat di atas laptopnya.
"Kak Ian… saya bawa Modem baru ni."
Saya pun bangkit dan heran dengan maksudnya. " Apaan sih, bikin kaget saja."
"Ini, Om Emil tadi kasih saya modem ini, buat di colokin di laptop saya. Jadinya, sebentar bisa main angry bird online di facebook. Hihihih…. Akhirnya."
"Jadi dari dulu laptop kamu belum bisa main internet?"
"Belum.."
"terus sekarang…??"
"Ya, sudah bisalah kak, kan sudah ada modemnya. Bagaimana nih kak Ian."
Cika mulai membuka bungkusan kardus kecil persegi tersebut, dan mengambil modem itu yang ternyata bentuknya hampir mirip dengan Flashdisk. Cika pun mulai mencolokkan modem tersebut ke laptopnya dan mulai mengotak-atiknya.
"ahaa.. berhasil.."
Cika langsung membuka facebook dan twitternya.
Tiba-tiba, dia langsung membuka situs resmi kampusku.
"Heh.. kenapa buka-buka situs kampusku. Hayooo…!"
"nggak papa lah.. siapa tau foto kak ihsan ada di situ."
Cika kembali mengutak atik laptopnya, dan menunggu loadingnya di website kampusku. "Eh, kamu dapat dari mana website kampus saya?"
" Itu, di surat pemberitahuan ujian kak Ian. Di bagian paling bawah ada alamat dan websitenya tertulis."
Loading selesai, tiba-tiba di layar, muncul lima lelaki geng COKER SABAD sedang bergaya. Gaya yang aneh, namun mengapa di letakkan di page pertama di situs ini?
Cika mengangkat telunjuknya dan melihat satu persatu wajah ke lima cowok tersebut. "tak ada yang cakep, kak Ihsan itu yang mana?"
"Aduh,.. Ihsan mana ada di kelompok seperti ini? Cuma cowok yang pintar saja yang ada di sini. Dia itu punya kelompok sendiri bersama saya dan Raihan."
"ooo, begitu.." Cika kemudian melanjutkan mengklik icon click here. Ikon yang di letakkan di pojok bagian kiri layar, ukurannya kecil dan hampir tidak kelihatan.
Kurang ajar memang nih, si COKER SABAD, masa mau buka website kampus sendiri akses masuknya serumit ini. Dan terlebih lagi foto mereka yag jadi headlinenya.
Dasar!
Pada tampilan selanjutnya, ada peta kampusku. Yang suasana gedung dan daerahnya menyerupai suasana timur tengah, yahh.. kayak mesir begitu lah, ada juga kayak romawi kuno. Hhmmm… a creative idea menurutku. Cuma sayang, ketika situs ini di lombakan. Tidak menang sama sekali.
Bagaimana mau menang kalau tampilan pertamanya saja, foto mereka. Kalau mau menang, yah pake foto KABEL saja, atau minimalnya pake foto saya sendiri saja.
"Fakultas Ekonomi yang mana?" Cika menggerak-gerakkan kursor ke seluruh gedung yang ada di layar. Kemudian membaca satu persatu keterangan yang ada.
"Ng… yang ini." Aku menunjuk sebuah gedung yang berbentuk U d pojok kanan. Cika langsung menyambar animasi gedung itu dan mengklik dengan cepat gambarnya. Kemudian muncul beberapa pilihan kelas dan langsung mengklik kelasku.
"Kamu tau dari mana kalau kelasku yang ini?" aku menepuk bahunya pelan.
"Kak Ian kan selalu cerita kalau kelasnya di bagian situ. Bagaimana nih kak Ian."
Kemudian, layar menampilkan foto kelas, dan itu foto kelasku. Cika menggeser scroll ke bawah dan terlihatlah tiga puluh dua foto berbeda teman-teman sekelasku.
"Nah, ini nih! Hihihi… " Cika mengklik gambar Ihsan, dan muncullah foto Ihsan sendiri, beserta thumbnail kecil fotonya yang lain, kemudian di samping foto itu terpampang juga biodata Ihsan.
Cika mendownload halaman itu. Kemudian, melompat senang ketika loading copynya selesai.
"Hore.. hore!" Serunya tetap melompat-lompat di atas kasur.
"Hey, kok, senang segitunya? Biasa saja, deh!" Kataku mengeluh.
"Ya jelas senang lah kak, akhrnya saya punya foto kak Ihsan. Hihihi.. kalau minta sama kak Ian, lama sekali jadinya! Lihat nih, lewat internet saja saya bisa dapat foto my idol dalam waktu lima menit. Hebat kan?!"
Gedebug!
Cika jatuh dari atas kasur dan terpeleset seprei yang mulai keluar dari pinggirannya, hingga kakinya terlilit karena melompat-lompat.
"Aaww…, sapa sih, yang simpan seprei di atas kasur?!
"Jadi, Kamu bermaksud cari kerja buat beli laptop?" Tanya Ihsan, menyeruput Jus jeruknya dan melirik keluar, melihat lalu-lalang orang yang pulang pergi dari kantin.
"Ngngng… tak usahlah kayaknya. memangnya kenapa harus beli laptop?" nanti juga kalau sudah besar, kerja, aku pun bisa kok, punya laptop­."
"Lho,? Pamerannya kan Cuma sampe akhir bulan depan saja. Kapan lagi kamu bisa beli laptop?!"
"Taka apa lah San! Pameran elektroniknya di adakan tiap tahun. Tak usah di pikirkan lagi."
"Yaahh.. padahal, saya sudah gunting buat kamu beberapa Koran yang lagi cari karyawan."
"Hmm.. makasih, Brother, sorry ya! Kamu rajin banget nolongin saya. Kalau saya sebenarnya tak apa-apa kalo sekarang tak punya laptop kayak Cika. Tidak terlalu berpengaruh kok. Laptop Cuma kebutuhan tersier saja." Saya tersenyum melihat Ihsan. "Sory yah, eh, gimana ujian kamu?" tanyaku mengubah topic pembicaraan.
"Ya, ampun! Tegang sekali Ian. Ruangan saya di awasi sama Pegawai jurusan yang sangar itu yang pernah kita ceritakan. Jadi, saya panas dingin. Saya tak bisa nyontek si Puspa. Si puspa kan jago sekali Matematika. terus, masa Cuma pulpen jatuh saja di liatin. Saya jadi deg-degan. Jadi, saya panas dingin jadinya, Ihsan mencoba menceritakan pengalamannya penuh semangat.
Aku yang mendengarkan hanya tertawa kecil, juga mengangguk-angguk ketika beberapa kejadian yang dia sebutkan terjadi pula di ruangan ujianku. Seperti buku kehadiran yang harus di tanda tangani oleh mahasiswa. Nama ayah yang menjadi salah satu permainan ejekan yang sering di mainkan teman-temanku sekelas. Setiap mahasiswa di ketahui identitas ayahnya. Dan kalau ingin mengejek seorang mahasiswa, tinggal menyebutkan nama ayah siswa tersebut. Hhmm.. persis waktu SMA dulu.
Hehehe… sebenarnya tidak sopan!
Hari ini adalah hari pertama ujian semester empat untuk menentukan kenaikan tingkat menuju semester lima. Mata kuliah yang di ujikan  hari ini adalah Matematika dan akuntansi. Sekarang sedang istrahat sebelum ujian akuntansi dilaksanakan.
"Heyy," seru Raihan, berlari di koridor. "saya dapat kisi-kisi Akuntansi buat ujian sebentar!" Raihan menyambar kursi kosong di sampingku, dan menunjukkan kertasnya sambil terengah-engah.
"Dapat dari mana?" Tanya Ihsan agak senang.
"Hosh.. hosh… dari kelas Akuntansi 3-4." Raihan menunjukkan kertas itu kepada Ihsan.
Saya tidak tertarik dengan kisi-kisi soal ini. Saya tak bermasalah dengan Akuntansi. Memang, Raihan dan Ihsan lemah dalam Akuntansi. Namun, mereka kuat di Ekonomi. Kalau yang di tunjukkan Raihan sekarang adalah Ekonomi, mungkin aku akan menyalin kisi-kisi itu untuk kuplejari di rumah.
"Eh, Ian, HP kamu banyak yang misscall dan sms tuh!" Seru Raihan menoleh padaku.
"Oh, iyya. Handphoneku sedang dipinjam Hesti, karena ada radionya. "Ya Sudah deh, tunggu ya! Aku mau ke kelas dulu bro."
"oke-oke…!" Raihan dan Ihsan mengangguk dan tersenyum meskipun matanya tidak lepas membaca kisi-kisi Akuntansi itu.
Saya berlari sepanjang jalan kantin, buru-buru ingin melihat siapa yang menelponku.
Buuukkk…!!!
Aku menabrak Friska di belokan pertama menuju lapangan. Friska sedang memegang laptop dan kulihat laptop itu terjatuh dari tangannya.
Braakk-praakkk…!!!
Laptop itu hancur berhamburan di lantai, beberapa serpihan kaca ada yang berhamburan keluar, kemudian tiga jenis kabel tipis mengahmbur tidak beraturan.
Astaga…!!! Ya ampun, ya ampun, ya ampun!! Apa yang telah ku lakukan?
"Aduh, Sory, Fris" saya langsung membungkuk dan mencoba membereskan laptop pecah itu.
"Arghh….!" Friska berteriak histeris, dia kesal dan marah. "Dasar bodoh! Kamu punya mata tidak, sih?! Dasar banteng! Main seruduk saja!" Friska membungkuk, ,menangis, meratapi nasib laptopnya.
"Aku minta maaf, Fris." Aku kembali memungut serpihan yang hancur, namun Friska ternyata marah besar.
Tiba-tiba Friska memandangku keras, mendorongku hingga tersungkur dua meter darinya. "pergi-pergi, kamu dari sini!" kemudian Friska mengambil laptop yang telah hancur itu, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya di atas badanku.
Saya yang masih terbujur sakit, langsung menangkis. "maafkan saya, Fris!" kurasakan lenganku cenat-cenut ketika menangkis laptop itu.
"maaf, maaf! Memangnya laptop saya bisa diganti dengan kata maaf kamu? Laptop saya tuh harganya sepuluh juta, tau tidak?! Dasar banteng.!"
Tiba-tiba, Ira-anggota pretty Women juga datang dan mencoba menenangkan Friska.
"Kenapa Fris?kenapa?" Tanyanya mendaramatisir keadaan.
"Laptop saya, coba! Lihat ni, ada banteng main seruduk saja!" Friska mencoba menendang lagi kaiku.
Ira menahannya. "sudah-sudah! Nendang dia tidak bakalan bikin laptop kamu balik lagi.!"
Akhirnya Friska diam mendengar nasehat temannya itu. Meskipun aku masih bisa melihat aura kekesalan, dendam, dan marah Friska yang ditujukan padaku. Hembusan nafasnya hangat, penuh kebencian. Matanya pun melotot.
Saya berdiri, menepuk-nepuk debu di kemeja baruku. Keduanya kangsung menengadah, menatapku. Maklum Friska tingginya sudah beda dua puluh senti lebih di bawahku. Jadi aku harus menunduk dan Friska menengadah.
"Oke-oke! Aku maafin kamu sekarang. Tapi ingat! Kamu harus ganti laptop saya, besok! Dalam bentuk laptop, bukan Uang."
"besok? Mana bisa saya cari laptop dalam sehari?!"
Dasar malas! Oke, saya ganti. Laptop saya harus kembali minggu depan."
"Friska…??" aku menatapnya pasrah, "Aku tidak punya uang sebanyak itu, atau cari uang banyak secepat itu."
"oke-oke-oke! Memang susah sih, kompromi sama orang miskin! Pokoknya, saya harus punya laptop lagi pas kita masuk hari petama semester lima. Ingat ya, hari pertama semester lima! Titik!" Friska sempat meludah di sampingku sebelum akhirnya berbalik pergi. Dia berjalan meninggalkanku penuh kekesalan, amarah, dan rasa dendam.



** To Be Continued **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar