maafkan atas keteledoranku.....


Di sebuah terminal bus dekat pusat perbelanjaan sebuah kota, Dina kembali meneguk sebuah minuman yang ia beli di sebuah supermarket. Tepat pukul 8 pagi. Musim hujan yang sangat hebat. Butiran-butiran air laksana busur-busur panah yang akan memusnahkan musuh. Mentari seolah-olah tak berkutik dibuatnya. April ini memang terasa lebih berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar sana hujan masih berbondong-bondong membasahi seluruh penjuru kota ini sejak tadi malam. Entah mengapa kota ini seakan-akan tertutupi oleh segumpal kabut yag membuat kabur pandangan setiap orang yang melihatnya.
Di terminal yang selalu ramai ini, agak sepi karena hari masih sangat pagi. Ada seorang anak di kursi sebelah, sedang berusaha membetulkan tali sepatunya. Dina melangkah perlahan ke seorang pedagang asongan, sesaat setelah menyerahkan uang 2 ribuan, sebungkus tissue basah sudah ada di tangan Dina. Tissue itu sejenak bisa mengeringkan sepatunya yang terkena percikan air hujan tadi. Tapi tak lama ketika tangan Dina menyentuh surat di saku jaketnya, sepatu yang tadinya sudah hampir mengkilap serasa kotor lagi dan membuatnya  bergetar hebat.
Dua hari yang lalu surat ini tiba di asramaku. Tak banyak isinya, hanya sebuah pesan singkat yang di kirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kak". Dina mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Surat ini di kirim Dini setelah beberapa kali ia menelpon Dina dan meng-smsnya, tapi Dina tak begitu menggubris ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya surat ini yang di kirimnya. "ah, waktu seolah-olah bergerak lamban, Aku ingin segera tiba di rumah" sahut Dina dalam hatinya. Tiba-tiba rindu Dina akan ibunya sudah tak tertahankan lagi. "Tuhan beri aku waktu, aku tak ingin menyesal".
Sebenarnya, Dina sendiri tak punya banyak waktu untuk pulang. Kesibukannya kuliah di fakultas kesehatan, di tambah lagi profesi yang ia dapat beberapa bulan lalu, sebagai penulis plus tugas-tugas kuliah yang tiap harinya tak pernah absen. Semuanya itu membuat Dina seperti tenggelam dalam kesibukan dunia kampus tersebut. Inipun dia pulang setelah kemarin meminta izin dan mengorbankan tugas kuliahnya yang sebentar lagi harus selesai.
Sudah hampir dua tahun Dina tinggal di luar kota kelahirannya. Tepatnya sejak ia lulus di salah satu universitas negeri di daerah itu. Sejak saat itulah Dina tak pernah sekalipun melihat suasana di tanah kelahirannya.

Masih tergambar jelas di ingatan Dina, wajah ibunya yang menjadi murung ketika Dina mengungkapkan rencana kuliah di luar kota itu. Ibunya meragukan niat Dina untuk kuliah dan masuk di fakultas kesehatan ini. Karena tentu saja begitu banyak halangan dan rintangan yang akan menghadapi Dina. Mulai dari biaya kuliah, biaya asrama, makan, terlebih lagi yang akan menjamin kehidupan Dina. Ibunya tak cukup memiliki banyak uang untuk membiayai kuliah Dina dan tentu saja ibunya sangat sedih karena Dina harus berpisah dengan keluarga untuk kuliah. Saat itu Dina sangat bersikeras dan tak terlalu menggubris kekhawatiran ibunya.
Pada akhirnya memang benar kata ibu Dina, tidak mudah menetap di daerah orang. Di awal kuliah, begitu banyak pengorbanan yang harus di keluarkan Dina dalam rangka adaptasi, demi lancarnya perkuliahan. Hampir saja biaya perkuliahan yang sangat mahal tak bisa ia pertahankan. Ketika semua hampir karam, ibu banyak membantu dengan masehat-nasehatnya yang sangat bijak. Akhirnya Dina pun dapat mengontrol kembali kehidupan kampusnya. Teman-teman di sekelilingnya juga pada dasarnya baik dan penyayang serta tak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu Dina yang tak terelakkan, yaitu perpisahan. Sejak kuliah, Dina menetap di sebuah asrama yang berukuran sangat sempit dan kumal. Dina sendiri memang sangat kesepian di awal masa jauh dari keluarga, terutama ibu, tap kesibukan mengurus biaya kuliah, tugas dan lain-lainnya mengalihkan perasaan Dina. Ketika waktu-waktu menjelang final pun Dina mulai sering sibuk dengan belajar untuk membunuh waktu yang tersisa.

Dina tersentak ketika mendengar pemberitahuan Bus RajawaliExpress yang ia tunggu akan segera berangkat. Waktu seperti terus memburu, sementara hujan semakin deras saja turun dari langit. Sesaat setelah melompat ke dalam bus express tersebut Dina bernafas lega, udara hangat dalam bus itu menghangatkan sedikit kerinduannya. Tidak semua kursi terisi di bus itu dan hampir semua penumpang terlihat tertidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal tebal yang melilit di leher, Dina merebahkan tubuh yang sangat penat dan lelah kemudian berharap bisa tertidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang terputus tadi mendadak kembali berputar dan berevolusi dalam ingatannya.
Ibu… yaa.. betapa Dina sadari kini sudah hampir dua tahun dia tak bertemu dengannya. Ditengah kesibukannya, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika dia telah mendapat berita bahwa ia lulus di fakultas kesehatan. Dan ia pun pamit dengan sangat terpaksa kepada ibunya yang saat itu seolah-olah tak rela dengan keputusan Dina. Namun, demi impian Dina, hati ibunya pun luluh dan membiarkan anak pertamanya itu pergi walaupun meninggalkan banyak luka. Selama ini Dina pikir ibunya cukup bahagia dengan uang kirimannya yang teratur tiap bulannya, berkat hasil dari tulisannya. Selama ini Dia pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya. Mendadak mata Dina terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadanya. "Aku pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini" bisiknya perlahan.
Cahaya matahari pagi meremang. Bus express yang melesat cepat seperti anak panah Angling Dharma ini masih terasa lama untukku. Betapa masih jauh jarak yang terentang. Dina menatap keluar, hujan yang masih saja turun menghalangi sedikit pandangannya. Genangan air seolah-olah akan membanjiri seluruh pelosok negeri ini. Tiba-tiba Dina teringat Sasha teman se asramaku di kampus yang sekarang lagi merindukannya. Bisa dikatakan dia tak berbeda dengan remaja lainnya di kota tempatnya tinggal. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada kehidupan bebas remaja kota besar, tetapi Sasha sangat ekspresif dan semaunya. Tak jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan, atau bagaimana sopan santun terhadapa orang lain.
Dina sering protes kalau Sasha pergi lama dengan teman-temannya yang sangat brutal menurutnya.  Karena dia dibuat menderita dan gelisah tak karuan di buatnya, maklum lah sebagai  seorang sahabat yang sangat dekat dengannya Dina tak ingin Sasha terjerumus ke dalam pergaulan yang dapat merusak kehidupannya.
Di luar hujan semakin lebat, semakin Dina tak bisa melihat pemandangan. Semua menjadi kabur tersaput butiran-butiran hujan yang seolah-olah menusuk. Juga semakin kabur oleh rinai di air mataku. Tergambar lagi dalam benaknya, saat setiap sore ibunya mengingatkannya kalau tidak pergi mengaji ke mesjid. Ibunya sendiri sangat taat beribadah. Melihat ibunya khusyu' tahajjud di tengah malam atau berulang kali mengkhatamkan al qur'an adalah pemandangan biasa buat Dina. "Ah, teringat ibu semakin tak tahan aku menanggung rindu" kata batin Dina yang entah sudah berapa kali menengok arloji di pergelangan tangannya.
Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan di terminal, Dina harus bersabar lagi karena harus berjalan sekitar 10 km. perjalanan tersebut pun bukan waktu yang sangat singkat buat yang sedang memburu waktu seperti Dina. Senyum ibunya seperti terus mengikutinya. Di tengah perjalanan Dina hanya menghabiskan waktu di jalan dengan berdzikir. Dzikir itupun membuat Dina sedikit tenang. Gumpalan awan putih di atas sana, layaknya gumpalan-gumpalan rindu pada ibunya.
Kota kelahirannya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir Dina meninggalkannya. Kembali ke situ seperti kembali ke masa lalu. Kota ini memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui, seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkannya, maka tak terhitung banyaknya kenangan di dalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis bersama ibunya yang selalu mewarnai semua hari-hari yang di laluinya. Teringat itu, semakin tak sabar Dina unutk bertemu ibunya.
Rumah berhalaman kecil itu seperti tidak lapuk di makan waktu, rasanya masih seperti ketika Dina kecil dan berlari-lari diantara tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibunya rajin merawatnya. Namun, ada satu yang berubah, ibunya….
Wajah ibunya masih teduh dan bijak seperti dulu, meski telah senja tapi ibunya tidak terlihat tua, hanya saja ibunya terbaring lemah tak berdaya, tidak sesegar biasanya. Dina berlutut di sisi pembaringannya, "Ibu…. Dina datang, bu…", gemetar bibir Dina memanggilnya. Dina meraih tangan ibunya perlahan dan mendekapnya di dadanya. Ketika ia mencium tangannya, butiran air mata Dina membasahinya. Perlahan mata ibunya terbuka dan senyum ibu, senyum yang aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama mereka berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambut Dina, pipinya basah oleh air mata. Dari matanya Dina bisa tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Dina, bu…" ucap Dina berkali-kali, betapa Dina menyadari kekeliruannya selama ini…
** Sekian **
Begitulah jiwa seorang ibu, walau bagaimana pun perbuatan seorang anak kepadanya, tetap saja ia membalasnya dengan senyuman…..!!!



                                                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar